Berubah Karena Alasan Geopolitis

Berubah Karena Alasan Geopolitis

Senin, 17 Januari 2005

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Sehari sebelum artikel ini dikirimkan kepada redaksi, penulis didatangi oleh
sang adik termuda, yang sudah beberapa bulan “menghilang” dari peredaran.
Dalam percakapan waktu itu, penulis mengemukakan bahwa media massa kita
ramai membahas masalah kehadiran pasukan-pasukan asing di Aceh. Ia
menyatakan kepada penulis bahwa banyak media (dan dengan sendirinya banyak
Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM) menganggap pasukan-pasukan Amerika Serikat,
yang hadir di Nagroe Aceh Darussalam (NAD), adalah untuk menduduki propinsi
tersebut, artinya kita akan kehilangan sebuah propinsi. Adik penulis
menyatakan, bahwa ini tidak benar mereka datang ke sini untuk dua hal.
Pertama, untuk menolong Republik Indonesia mengatasi bencana alam gempa bumi
dan gelombang Tsunami di propinsi tersebut, yang menelan korban lebih dari
100.000 orang. Kedua, setelah periode yang disebutkan itu, mereka akan
“meminta” tetap berada di sebuah pangkalan militer (yang mereka akan bangun)
di pulau Sabang. Menurut adik penulis, tidak jelas apa maksud mereka
mendirikan pangkalan militer itu. Untuk menjaga Selat Malaka dari gangguan
para perompak laut?, atau untuk tujuan lain?. Entahlah adik penulis tidak
mau menerka hal itu.

Jika adik penulis itu benar, maka maksud Amerika Serikat itu harus
dipertimbangkan secara mendalam, karena sejak kemerdekaan kita belum pernah
ada pangkalan militer asing berdiri dan berpatroli di negeri ini. Jika hal
ini terjadi maka “tradisi politik luar negeri” kita sendiri akan berubah
sama sekali setelah lebih dari 50 tahun kita merdeka. Penulis tidak dapat
membayangkan apa reaksi masyarakat dalam hal ini, partai-partai politik
besar seperti PDI Perjuangan, PKB, PPP dan PKS jelas akan menentangnya. Kita
belum tahu yang lain-lainnya, tentu masyarakat akan bercermin pada sikap
itu.

Hal itu akan mengakibatkan lebih banyak tuduhan-tuduhan yang tidak
sepenuhnya benar, bahwa pihak tentara pendudukan asing itu akan “merebut
dengan senjata” kawasan-kawasan propinsi NAD itu. Ini berarti, akan terbit
‘tugas berat’ di kalangan kaum muslimin yang tidak mengandalkan diri pada
emosi mereka, yang biasa disebut dengan istilah ‘Islam moderat’, untuk
berkiprah menjelaskan masalah itu kepada rakyat banyak. Kalau hanya menjadi
tugas berat saja, tidak mengapalah kerja itu harus dilakukan. Masalahnya
adalah tugas berat itu belum tentu berhasil, karena masalah yang paling
sulit adalah meyakinkan rakyat. Baik mengenai aspek dalam negeri atau luar
negeri, tentang perlunya mendirikan sebuah pangkalan militer asing untuk
sesuatu tujuan.

Kita ingat pengalaman Dien Bien Phu di Vietnam kota peninggalan Prancis itu,
diandaikan kota akan mampu menahan serangan frontal dari pihak Vietkong di
awal-awal tahun 50-an. Ternyata yang datang bukanlah serangan frontal, yang
ada “hanyalah” serangan dari perimeter kota, karena hutan-hutan sekitar kota
itu dibiarkan oleh pasukan-pasukan Vietkong di bawah Pimpinan Vo Nguyen
Giap. Mengapa? Karena meriam-meriam Prancis dengan jarak tembak ke
hutan-hutan itu sudah siap memuntahkan peluru, jika pasukan-pasukan Vietkong
berada di situ. Karena itu, Giap menggali lubang di bawah tanah hingga
perimeter kota, maka pasukan-pasukannya muncul dibawah jarak tembak
meriam-meriam pertahanan kota. Dan merdekalah Jenderal Giap untuk menyerang
Dien Bien Phu dari pinggiran kota, dengan senjata yang dilepas dari
lubang-lubang tersebut yang dirakit kembali. Dan ini termasuk canon-canon
berat, yang dibawa melalui lubang-lubang panjang itu, yang dibawa oleh
sepeda-sepeda biasa.

“Kesenangan” Prancis untuk bertahan secara stastis itu, pada prinsipnya
meniru taktik pertahanan Prancis dalam Perang Dunia I yang terkenal dengan
nama Maginot Linie, untuk melindungi kota-kota dibelakangnya. Namun ketika
pihak lawan berhasil melewati garis pertahanan itu, maka pasukan yang
bertahan itu dapat diserang dari belakang oleh musuh. Lalu, tidak ada
gunanya lagi untuk bertahan, kalau sudah begitu. Dari peristiwa itu,
timbullah ucapan “menyerang adalah pertahanan terbaik”. Karena itu, adanya
sebuah pangkalan miiliter di wilayah Republik Indonesia, adalah sesuatu yang
secara teoritik dapat dianggap sikap bertahan. Tentulah harus dipikirkan
secara mendalam, benarkah keputusan membiarkan adanya sebuah pangkalan
militer secara rasional dapat mempertahankan teritorial? Kita harus dapat
memperhitungkan soal ini mampu atau tidaknya kita “biarkan” hal seperti itu
terjadi, siapapun yang memintanya, atau untuk tujuan apapun dilakukan.

Memang benar, sulit untuk menyakinkan Amerika Serikat jika
perhitungan-perhitungan kita tidak menggembirakan. Tetapi karena kebutuhan
untuk kerja itu memang nyata, maka kita harus melakukanya apapun resiko yang
harus diambil. Di sinilah dibutuhkan kepemimpinan negara yang kuat, bersih,
jujur dan berpandangan jauh. Amerika Serikat adalah teman kita, tetapi
kepentingan nasional akan lebih penting dari pertimbangan apapun. Memang
tidak mudah untuk mengambil sikap yang pasti dalam hal ini, apalagi kita
sedang berada pada posisi lemah, dalam hampir semua bidang kehidupan.
Karenanya kita harus berhati-hati dan menggunakan pertimbangan yang lebih
rumit/kompleks dalam mengambil keputusan, tentang dapat tidaknya sebuah
pangkalan militer asing didirikan (oleh siapapun) di negara kita. Hal inilah
yang membuat penulis merasa beratnya keputusan yang harus diambil oleh
pemimpin yang mengendalikan negeri kita di masa depan yang dekat ini.

Jika hal ini tidak kita pertimbangkan, kita akan menghadapi
kasulitan-kesulitan baik dari dalam dan luar negeri, yang dapat saja membuat
negara kita labil. Di dalam negeri, umpamanya, akan demikian banyak orang
yang menentang kehadiran pangkalan militer asing. Kalaupun pemerintah dapat
mengatasi hal itu, perlu juga dipertanyakan kemampuan itu dapat
dipertahankan dalam jangka panjang atau tidak. Demikian pula, jika tentangan
itu datang dari luar negeri. Jelas, Republik Rakyat Tiongkok dan India tidak
akan setuju dengan gagasan itu. Demikian pula Malaysia yang menjadi jiran
kita, belum lagi Vietnam dan sekutu-sekutunya seperti Laos dan Kamboja.
Sudah tentu, mereka akan menggunakan berbagai elemen di dalam negeri untuk
bertindak menwujudkan sikap seperti itu. Inilah yang akan membuat kita harus
mengolah liabilitas yang cukup besar, dan itu berarti waktu dan tenaga kita
habis untuk menghadapi sikap seperti itu.

Ada pemikiran, agar kita mengadakan perjanjian dengan pihak luar negeri
untuk melakukan tugas-tugas militer yang diinginkan Negara tersebut tanpa
mendirikan pangkalan militer asing di negeri kita. Ini lebih ringan
akibatnya dari pada gagasan pertama tadi, tapi juga masih memerlukan
pertimbangan mendalam, karena pada saat ini sudah tidak mungkin membuat
sesuatu tanpa orang lain, di dalam dan luar negeri, tidak mengetahui hal
itu. Satu-satunya hal yang dapat kita perbuat sebagai negara adalah
penyataan terbuka, bahwa negara kita akan membeli senjata-senjata dan
peralatan militer lainnya dari satu sumber, seperti Amerika Serikat. Tetapi
itupun dengan harga murah yang berarti kita memerlukan subsidi negara lain,
karena keadaan keuangan kita sendiri belum memungkinkan tindakan seperti
itu. Tentu saja, bagi AS ini punya arti banyak karena berbagai pertimbangan.

Itulah beberapa hal yang mau tidak mau kita harus lakukan, jika kita harus
memutuskan (dan tentu saja harus ada pernyataan tertutup atau terbuka),
untuk memperkenankan atau tidak berdirinya sebuah pangkalan militer asing di
negeri kita. Mungkin masih ada hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan, dan
karena itu dialog dalam masyarakat harus didorong untuk hal itu. Sikap
menutup-nutupi isu tersebut hanya akan menambah kecurigaan kepada maksud
baik yang ada. Keterbukaan sikap menjadi sangat penting, karena bagaimanapun
juga ini adalah perubahan mendasar dalam politik luar negeri kita. Sikap
untuk menutup-nutupi proses pengambilan keputusan itu, hanyalah akan
menambah tentangan yang sudah ada.

Harus ada perubahan sikap kita sebagai bangsa dan negara, mengenai politik
luar negeri kita yang bebas dan aktif. Kalau kita tidak berhati-hati, yang
terjadi kita akan mengikuti politik luar negeri yang tidak bebas dan tidak
aktif. Ini adalah perubahan karena alasan-alasan keadaan geopolitis yang
terjadi, terutama dalam tiga dasawarsa terakhir ini. Di sinilah akan terjadi
proses melestarikan dan membuang, yang biasa terjadi dalam sejarah manusia,
bukan?

Jakarta, 16 Januari 2005

~ by Roni on June 11, 2010.

Leave a comment